Membangun Kebiasaan Berpuasa Pada Anak

2 Jun, 2017 | Kategori : Lain-lainTips
manfaat puasa

Ny. Peppy Andrias, S.Psi., M.Psi. Ketua Ranting Palaran, Cabang Kota Samarinda Pengajar di Prodi Psikologi FISIP Universitas Mulawarman, Psikolog, & Founder Wiloka Workshop Yogyakarta

Semua orang tua pasti berharap anaknya dapat memiliki kesadaran dan kemauan untuk menjalankan ibadah puasa secara penuh selama Ramadhan. Mengajarkan anak berpuasa merupakan tantangan tersendiri bagi orang tua. Proses berpuasa yang tidak mudah sering membuat anak-anak masih enggan untuk menjalankan puasa tanpa disuruh. Embel embel pemberian hadiah paling sering digunakan untuk membuat anak-anak mau bertekun berpuasa. Namun demikian tidak sedikit pula orang tua yang telah berhasil memotivasi dan membiasakan anak-anaknya yang masih berusia dini mampu menjalankan puasa seperti layaknya orang dewasa. Nah bagaimana ya untuk membangun kemauan berpuasa secara mandiri dan ikhlas kepada  anak-anak ?

Melatih-Anak-Agar-Siap-Berpuasa

Teknik membiasakan berpuasa kepada anak Membentuk perilaku berpuasa dimulai dengan proses berlatih lalu diikuti dengan pembiasaan. Ada dua teknik dasar yang dapat digunakan untuk mengajarkan berpuasa pada anak. Teknik pertama adalah dengan cara modeling. Modeling berarti pembentukan suatu perilaku melalui pengamatan. Perilaku akan terbentuk karena anak ingin menjadi seperti apa yang disenanginya (atau role model-nya). Efektifitas membentuk perilaku dengan metode modeling ini sangat dipengaruhi oleh sosok figur yang dianut. Artinya, bagaimana suatu perilaku itu dapat ditanamkan akan sangat bergantung pada seberapa anak menyukai atau mengidolakan figur tersebut. Dalam konteks berlatih puasa, orang tua dapat menggunakan figur yang diminati atau disukai untuk memasukkan pengertian puasa, alasan mengapa umat Muslim menjalankan puasa, termasuk nilai-nilai puasa. Apabila figur idola anak tersebut adalah figur fiktif seperti tokoh kartun, maka orang tua dapat memasukkannya dalam bentuk cerita dongeng, ketika menggambar bersama, maupun bermain peran atau drama ketika bermain bersama anak. Proses modeling ini akan dirasa lebih mudah bila tokoh figurnya adalah orang yang memang sudah dekat dengan anak misalnya orang tua, kakak, saudara ataupun guru di sekolah. Ketika ada figur nyata yang mudah dijangkau anak, anak akan lebih memiliki kemauan untuk mencontoh perilaku berpuasa maupun pengertian-pengertian yang disampaikan oleh si figur tersebut. Teknik kedua adalah melalui pemberian hadiah dan hukuman (reward and punishment). Berdasarkan pengamatan, banyak orang tua yang telah menggunakan teknik ini untuk menanamkan kebiasan berpuasa pada anak sejak dini. Anak diberi penawaran akan hadiah tertentu bila dapat menyelesaikan puasa sampai sekian hari. Hadiah akan semakin besar apabila semakin panjang hari puasa yang dapat diselesaikan oleh si anak. Ada yang berjalan dengan sukses namun ada yang kurang efektif dan malah menimbulkan persoalan lain, seperti perilaku manipulasi anak agar terus memeroleh hadiah bahkan sampai setelah puasa. Kesuksesan teknik hadiah sangat tergantung pada dua hal, yakni bila hadiah tersebut: 1) diberikan setelah suatu perilaku diselesaikan dan 2) hal yang diberikan tersebut (baik barang ataupun non barang) bermakna penting bagi si anak. Sebagai contoh: seorang anak yang sudah terbiasa keinginannya dipenuhi atau sangat mudah dikabulkan permintaannya akan mainan bisa jadi menganggap tawaran hadiah dibelikan mainan baru tidak terlalu berdampak pada perubahan perilakunya. Di sisi lain, anak yang jarang sekali dapat menghabiskan hari dengan menonton film kesukaan bersama sang ayah, maka tawaran bahwa ayah akan menemani anak menonton film favorit apabila puasanya dapat penuh akan menjadi motivasi bagi si anak untuk dapat menyelesaikan tugas syarat yang diberikan tersebut. Oleh karena itu, orang tua perlu mengenali apa yang akan dapat menimbulkan makna hadiah bagi anaknya sehingga dapat memunculkan motivasi bagi si anak untuk menjalankan puasanya.  Bagaimana dengan pemberian hukuman? Dalam konteks pembentukan perilaku berpuasa, sepertinya penggunaan teknik pemberian hukuman kurang tepat. Hal ini karena perilaku puasa adalah perilaku yang ingin diciptakan dan bukan justru ‘dimusnahkan’. Menjalankan puasa Ramadhan perlu menimbulkan pengalaman yang menyenangkan bagi anak oleh karena itu teknik hukuman tidak terlalu tepat digunakan dalam konteks ini.

gambar-kartun-puasa-lucu-ucapan-ramadhan

Memahami Daya Logika Anak untuk Menanamkan Makna Puasa  Pemahaman akan makna dan nilai puasa akan dapat menjadi fondasi agar anak bersedia menjalankan puasa dengan penuh kesadaran, tanpa harus diperintah oleh orang tuanya. Membangun pemahaman ini menjadi dasar sehingga perilaku berpuasa akan dapat berjalan secara alami pada diri anak. Untuk menanamkan pemaknaan tentang suatu hal terhadap anak, orang tua perlu memahami kemampuan berpikir anak sesuai usianya. Hal ini penting agar orang tua menggunakan bahasa maupun media yang tepat sesuai dengan kemampuan logika anak. Menilik pada usia di mana puasa mulai diajarkan, biasanya anak masih berusia dini (misalnya ketika anak mulai masuk Taman Kanak-kanak) atau ketika anak sudah duduk di SD awal (kelas 1,2, atau 3).   Ketika anak berusia dini (usia Taman Kanak-kanak) secara psikologis cara berpikirnya disebut logika pra-operasional. Pada masa pra-operasional ini anak akan cenderung berpikir lebih terpusat pada dirinya, belum mampu berpikir sebab akibat maupun kebalikannya, terpusat pada suatu hal yang nyata, serta memaknai apa yang dilihatnya dalam konteks simbolik. Oleh karena itu, ketika ingin memasukkan nilai dan makna puasa kepada anak yang berusia di bawah lima tahun ini, orang tua perlu menggunakan media gambar maupun aktivitas bermain. Penggunaan bahasa-bahasa abstrak perlu dihindari dulu, misalnya konsep dosa atau surga bila tanpa diikuti dengan menghadirkan bentuk yang nyata seperti contoh atau visualisasi gambar kepada anak. Bahasa pun perlu dibuat sangat sederhana sehingga ketika akan memasukkan unsur dari ayat Al-Qur’an sebaiknya orang tua menyiapkan pula simbolisasinya selain hanya kata-kata sehingga anak mampu menangkap maknanya dengan tepat.  Anak yang telah masuk usia sekolah dasar, cara berpikirnya sudah lebih operasional namun konkret. Dengan cara berpikir ini anak telah lebih mampu berpikir secara logis tentang apa yang dilihatnya maupun memahami klasifikasi. Namun, anak usia ini masih belum terlalu mampu memahami konteks abstrak. Puasa adalah suatu konteks yang abstrak. Secara kasat mata, yang terlihat dari puasa adalah tidak makan dan minum selama matahari bersinar. Anak usia SD tersebut akan sulit untuk melihat makna menahan hawa nafsu sebagai esensi utama atas puasa. Oleh karenanya, orang tua dapat membantu dengan memberikan gambaran secara konkret dengan pemberian contoh-contoh atas pemaknaan utama dari berpuasa Ramadhan. Sebagai contoh, orang tua dapat mengajak anak untuk membuat pengelompokan akan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat berpuasa.

 

Sumber bacaan: Atkinson, Rita L., Atkinson, Richard C., Smiteh, Edward E., Bem, Darly J. 2000. Pengantar Psikologi. Edisi Kesebelas. (Terjemahan). Batam: Interaksara Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak. Jilid 1. Edisi Keenam. (Terjemahan) Jakarta: Penerbit Erlangga. Monks, F.J., Knoers, A. M. P., & Haditomo, Siti R. 2002. Psikologi Perkembangan. Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada Unibversity Press.