Menemukan Makna Hidup

16 Aug, 2018 | Kategori : Agama

Kesemuanya dharma (tindakan tepat), artha (keamanan sosial), kama (kenyamanan dasar) dan moksha atau kebebasan – lazimnya dianggap sebagai empat purushartha, empat pilar terpenting dari struktur kehidupan manusia.

Purusharta berasal dari bahasa Sansekerta, sebenarnya terdiri atas dua kata, purusha dan artha. Purusha biasanya diterjemahkan sebagai pria; tapi makna ini, dapat diperluas mencakup wanita juga. Jadi Purusha ialah keduanya, laki-laki dan perempuan – manusia.

h1

Artha dapat berarti kekayaan, uang dan bahkan makna. Ini ialah sesuatu yang memberi arti bagi hidupmu. Jadi keempat Purushartha semuanya memberi makna pada kehidupan. Sekarang, anda tak harus menjadi orang Bali untuk setuju bahwa mereka, sejatinya, merupakan empat hal terpenting dalam hidup ini. Semuanya disebut pilar struktur kehidupan manusia.

Kita semua butuh untuk tahu apa yang tepat dan apa yang tidak tepat. Kita semua membutuhkan sesuatu seperti keamanan sosial, kenyamanan dan kebebasan.  Itulah kebutuhan dasar dan lazim dari semua manusia. Bagaimana kita memenuhi kebutuhan itu? Bagaimana kita menggapainya?

Leluhur kita menasehati kita untuk memulainya dengan dharma. Seseorang harus tahu apa yang tepat, dan apa yang tidak tepat dilakukan. Dengan pemahaman semacam ini, seseorang harus memperoleh kemampuan yang dibutuhkan dan keahlian untuk menjalankan bidang tindakan yang dipilih.

“Dahulukan yang penting,” begitulah nasehat yang dipopulerkan Stephen Covey. Pertama, kita harus mendapatkan dharma. Tanpa kebijaksanaan untuk memilah apa yang tepat dan apa yang tak tepat, kita tak dapat berhasil dalam hidup. Dan untuk mengembangkan kebijaksananaan semacam itu, sangatlah penting bahwa kita memiliki sebuah pikiran yang tajam dan kemauan untuk belajar.

Kebijaksanaan ialah buah dari pembelajaran. Kita belajar dari buku. Kita juga belajar dari mengamati orang lain dan pengalaman hidup mereka. Yang terpenting, kita belajar dari pengalaman kita sendiri. Dalam beberapa tahun pertama kehidupan kita, kita belajar ddengan mengamati orang lain. Itu yang kita lakukan saat kita masih anak-anak. Kita tak dapat membaca; kita tak bisa menulis; tapi kita bisa mengamati. Membaca dan menulis datang kemudian – yang pertama ialah observasi.

Anak-anak, yang kekurangan kemampuan pengamatan ini umumnya tak terlalu ingin tahu. Mereka tidak banyak bertanya. Kita mungkin menganggapnya sebagai anak yang bertipe pendiam. Kita mungkin merasa senang dengan hal tersebut, karena mereka tak menggangu kita seperti halnya tipe anak yang suka bertanya. Kendati demikian,  hal ini tak bagus. Anak-anak yang kurang observasi tak hanya tumbuh secara kurang bijaksana, tapi juga kurang dinamis.

Inilah alasan kenapa kita mempunyai banyak motivator di hari-hari belakangan ini. Sebagian dari kita yang kurang mengobservasi saat masa kanan-kanak tak bisa melakukan apa-apa tanpa mereka. Kita pelu dimotivasi, dan didorong untuk mencapai tujuan kita dalam kehidupan, untuk memenuhi dan meraih segalanya.

Amati anak-anak anda dan periksa seberapa kerap ia melakukan observasi. Anak yang observan bukanlah anak yang nakal dan bandel, tapi ia yang selalu bertanya, “apa ini? apa itu?”. Ini ialah pikiran yang bertanya yang membantu anak mekar menjadi manusia yang utuh. Tanpa pikitan yang bertanya, kita tetaplah separuh manusia.

Pikiran yang kritis bertanya, kendati demikian, tak dapat diperbudak. Memang ada komunitas, masyarakat dan sistem sosial yang tak suka dengan pikiran yang kritis. Mereka melecehkan intelegensia. Mereka mengharapkan pikiran yang tumpul yang dapat diarahkan da dikuasai. Penguasa di manapun, dan di bidang apapun menentang orang cerdas, karena mereka tak bisa diperbudak.

Purushaartha, seperti yang diwariskan leluhur kita, ialah bukan untuk para budak. Selain perbudakan, mereka tak punya pilihan lain dalam hidup. Perbudakan ialah satu-satunya makna dalam hidup mereka. Mereka tak dapat meraih dharma, artha, kama dan moksa. Mereka tak bebas melakukan apapun. Mereka telah diperbudak begitu lama sehingga mereka tak lagi merasa berharga, atau bahkan memahami, arti kebebasan dan kemerdekaan itu sendiri.

Sayangnya, perbudakan bukan tradisi yang usang dan mati. Pada zaman Musa perbudakan begitu kasat mata dan dan tumbuh subur seperti pada. Sekarang kita mempunyai penguasa genre baru. Di mana pemerintah tak lagi kejam, ekonomi, sosial, religius dan institusi yang sejenis lainnya menjadi para penguasa baru. Mereka dapat mengontrol pemerintah dari balik layar sehingga tetap terlihat.

h2

Untuk menggapai keempat purushaartha ialah untuk mematahkan rantai perbudakan, dan membebaskan pikiran kita. Tapi seperti yang telah saya katakan, jika kita terlalu lama dipebudak, kita bahkan bisa jadi tak memahami arti kebebasan. Kita mungkin malah menikmati perbudakan, dan merasa nyaman. Oleh sebab itu, dari waktu ke waktu, kita membutuhkan seorang Musa atau seorang Muhammad, seorang Buddha atau seorang Krishna, seorang Washington atau seorang Gandhi untuk menunjukan pada kita jalan keluar dari pebudakan.

Para mesias, nabi, manusia tuhan, avatar atau apapun sebutan anda bagi mereka  sebenarnya “orang bebas.” Mereka mengetahui arti kebebasan. Mereka ialah manusia dengan pikiran yang tajam dan intelegensia super. Mereka bisa merangkul keempat Purushartha dan menghayati kehidupan dengan gayanya sendiri. Dan mereka hendak berbagi dengan kita jenis kebebasan yang mereka nikmati. Mereka menghampiri kita untuk menunjukkan pada kita jalan keluar dari perbudakan.

Ya, itu ialah apa yang mereka tepatnya lakukan. Mereka “menunjukkan” pada kita jalan menuju kebebasan, kemandirian, kemerdekaan dan keadilan untuk semua. Kita masih harus menapaki jalan itu. Mereka tak bisa berjalan untuk kita.

 

Dikutip dari : http://www.hindu-dharma.org/2009/08/menemukan-makna-hidup/