Bismillahirrahmanirahiim..
Hari demi hari, bulan demi bulan silih berganti tanpa kita sadari. Dewasa ini, kehidupan sehari- hari kita sangat bergantung pada kalender masehi, sehingga terkadang kita lupa bahwa agama kita punya sistem kalender yang tak kalah penting, yaitu kalender hiriyah. Kalender hijriyah merupakan sistem penanggalan berdasarkan kenampakan hilal (tampak bulan sabit terkecil) yang menjadi acuan dalam menandai hari-hari penting dalam Islam dan waktu-waktu pelaksanaan ibadah, seperti haji, puasa, dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah:
“Orang-orang bertanya kepadamu tentang hilal. Wahai Muhammad katakanlah:
“Hilal itu adalah tanda waktu untuk kepentingan manusia dan badi haji.”
(QS. Al-Baqarah: 189)
LATAR BELAKANG
Kesadaran dan pemikiran mengenai perlunya sistem penanggalan mulai muncul disebabkan oleh kebingungan menetapkan waktu pada beberapa dokumen pada masa khalifah Umar bin Khattab. Berawal dari dokumen pengangkatan Abu Musa al-Asy’ari sebagai gubernur Basrah yang terjadi di bulan Syaban, tetapi tidak bisa menentukan bulan Syaban pada tahun yang mana/kapan. Nama-nama bulan pada kalender hijriyah seperti Muharram, rabi’ulawwal, dan lain-lain sudah ada sejak zaman sebelum datangnya Islam, hanya saja, penyebutan tahun bukan berdasar urutan tahun berapa, melainkan atas dasar peristiwa yang terjadi pada tahun itu. Seperti, Tahun Pembangunan Kabah, Tahun al-Fijar (terjadinya perang Fijar) dan sebagainya.
Berlanjut ketika Abu Musa al-Asy’ari menjabat sebagai gubernur Basrah, banyak surat dari khalifah Umar yang tidak menyebut tahun, hanya hari dan bulan, sehingga sering menimbulkan kebingungan. Oleh sebab itu khalifah Umar RA mengajak para sahabat untuk bermusyawarah tentang sistem penanggalan yang nantinya bisa menjadi acuan kaum muslimin.
Ketika itu beberapa sahabat mengusulkan penanggalan Islam berdasarkan kelahiran Rasul SAW, ada juga yang mengusulkan berdasarkan wafatnya Rasul SAW, namun mereka menyepakati pendapat Ali bin Abi Thalib, yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasul SAW dari Mekah ke Yatsrib (Madinah). Itulah sebabnya disebut kalender Hijriyah (taqwiim Hijriy). Sedangkan nama-nama bulan diambil dari nama-nama bulan yang telah ada pada masa itu di wilayah Arab.
MENYAMBUT TAHUN BARU HIJRIYAH
Saudaraku, ingatlah bahwa agama kita ini adalah yang paling sempurna dan telah di sempurnakan oleh Allah. Kemudian kita juga harus paham bahwa hukum asal suatu amalan ibadah adalah haram sampai adanya dalil. Berbeda dengan perkara duniawi (seperti HP, FB, internet), maka hukum asalnya itu boleh sampai ada dalil yang mengharamkan.
Meninjau hal tersebut, tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan untuk menyambut tahun baru hijriyah. Serta tidak dibenarkan jika kita merayakan tahun baru hijriyah meniru budaya orang kafir merayakan tahun baru mereka, sebagaimana sabda Raasulullah,
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”
(HR. Abu Dawud, hasan)
Menyambut tahun baru Hijriyah bukanlah dengan memperingatinya dan memeriahkannya. Namun yang harus kita ingat adalah dengan bertambahnya waktu, maka semakin dekat pula kematian. Sungguh hidup di dunia hanyalah sesaat, dan kehidupan di akhirat adalah selama-lamanya. Mau kah kita mengorbankan kenikmatan abadi, dengan kenikmatan sesaat ini. Cobalah menilai diri kita sendiri, semakin bertambahnya tahun ini, apakah bertambah pula keimanan kita? Semakin baik kah? Semakin buruk kah? Sesungguhnya tentang hubungan kita dengan Rabb kita Allah, hanya kita yang tahu.
Sesungguhnya nikmat yang paling besar yang dianugrahkan oleh Allah kepada para hambaNya adalah nikmat Islam dan hidayah kepada jalanNya yang lurus. Apabila seorang muslim menyadarinya tentunya, dia akan selalu memohon hidayah apabila ia sesat, memohon ketetapan di atas hidayah bila dia sudah diberkan hidayah, serta memohon dibukakan pintu-pintu amalan dan kebaikan. Dia juga sepatutnya bersyukur kepada Allah melalui ucapan, perbuatan dan keyakinan serta menjaga nikmat ini dan membentenginya serta melakukan sebab-sebab yang dapat menjaga hilangnnya nikmat tersebut.
Saudaraku ketahuilah, kehidupan yang kita jalani sekarang adalah penjara bagi orang mukmin, dan akhirat adalah kampung halaman kita yang sebenarnya. Hidup ini sebatas 2 pilihan, taat atau maksiat. Akhirat pun juga memiliki 2 pilihan, Surga atau Neraka. Sungguh penyesalan terbesar adalah, surga yang luasnya jauh melebihi bumi langit dan sisinya, namun tidak ada satupun tempat untuk kita di dalamnya.
Maka dari itu, selagi kita masih diberi kesempatan hidup, alangkah baiknya jika mulai saat ini kita isi waktu kita dengan memperbanyak ibadah dan amalan yang dapat mendekatkan kita ke surga. Sebab ketika habis waktu kita, sama sekali tidak ada kesempatan kembali ke dunia untuk bertaubat.
Wallahu ta’ala A’laa wa A’lam.
Oleh Shanti Ucu Kuspriyadi
Bhayangkari Daerah Sumatra Selatan