Pandangan dan Perlakuan Agama Buddha Terhadap Perbedaan Gender

21 Apr, 2021 | Kategori : Agama

Apabila ingin membahas soal gender dalam Buddhisme ,  bisa mulai tarik dari awal pada Konsep Evolusi Manusia yang tercantum dalam Sutta ke-27 Digha Nikaya, Agganna Sutta yaitu manusia berasal dari makhluk yang berasal dari alam Abhassara (alam cahaya). Makhluk ini hidup dari ciptaan batin, diliputi kegiuran batin, memiliki tubuh yang bercahaya, dan hidup dalam kemegahan. Makhluk ini adalah makhluk “aseksual”, tidak berjenis kelamin, tidak ada laki-laki, tidak ada perempuan.

Kemudian di antara makhluk-makhluk itu terdapat makhluk yang serakah dan mulai makan sari tanah dan cahaya di tubuhnya mulai meredup, sehingga cahaya matahari, bulan dan bintang mulai bersinar.“ Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya ( itthilinga ) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya ( purisalinga ).” Sejak inilah gender mulai muncul dalam makhluk itu, dan hubungan sexual mulai dilakukan yang dilandasi oleh nafsu indria.

Dikaitkan dengan fenomena kelahiran kembali, terlahir sebagai laki-laki atau perempuan merupakan buah karma dari perbuatan di kehidupan masa lampau. Tidak melulu  yang sekarang telahir sebagai laki-laki dikehidupan yang akan datang juga akan terlahir sebagai laki-laki. Bisa saja yang sekarang terlahir sebagai seorang laki-laki di kehidupan yang akan datang akan terlahir sebagai seorang perempuan. Hal ini juga belaku sebaliknya pada perempuan.

Buddha menolak diskriminasi  yang membedakan harkat/ martabat/ derajat manusia berdasarkan kelahiran/ keturunan (Sutta Nipata: 610). Tradisi patriarki yang menundukkan perempuan jauh di bawah laki-laki.  Pengertian patriarki secara harfiah adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam  peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.

Pengaruh paham Brahmanisme menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap laki-laki saja. Buddha sendiri berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama. Pada suatu kesempatan, Buddha sering mengatakan bahwa “perempuan bisa lebih baik daripada laki-laki”. Hal ini semakin menunjukkan bahwa agama Buddha sangat menghargai wanita yang pada saat waktu itu perempuan sangat tidak dihargai dalam masyarakat. Pada waktu itu Buddha membuat gebrakan yang sangat luar biasa, yaitu beliau berkenan untuk menerima perempuan masuk dalam  pasamuhan sangha, dan  membentuk pasamuhan baru yaitu pasamuhan sangha bhikkhuni.

unnamed (1)

Perempuan pertama  yang menjadi seorang bhikkhuni adalah  Ratu Mahapajapati, yang kemudian diteruskan dengan penahbisan 500 perempuan menjadi bhikkhuni. Akan tetapi terdapat syarat/aturan yang harus ditaati oleh para bhikkhuni. Aturan ini merupakan jalan keluar setelah Buddha melakukan penolakan terhadap tiga kali permohonan yang dilakukan oleh Mahapajapati Gotami beserta rombongan. Aturan ini disebut 8 syarat Garudhamma, aturan ini bersifat paksaan untuk para bhikkhuni. Isi dari delapan Garu Dhamma adalah Delapan peraturan khusus adalah:

1. Seorang bhikkhuni, bahkan jika ia seorang yang senior, telah seratus tahun di dalam Sangha, harus memberi hormat, dengan merangkapkan tangan kepada seorang bhikkhu, meskipun ia baru satu hari menjadi bhikkhu. Peraturan ini berlaku seumur hidup.

2. Seorang bhikkhuni tidak boleh menjalani vassa di tempat yang jauh dari tempat tinggal para bhikkhu.  Peraturan ini berlaku seumur hidup.

3. Setiap dua minggu, seorang bhikkhuni harus melakukan dua hal: menanyakan tentang hari uposatha kepada bhikkhu Sangha dan mendekati bhikkhu Sangha untuk memohon instruksi dan teguran.

4. Ketika masa vassa berakhir, seorang bhikkhuni harus menghadiri upacara Pavàranà di dua tempat yaitu Bhikkhu Sàsana dan juga Bhikkhuni Sàsana, dan di kedua tempat itu ia harus menerima kritik terhadap apa yang dilihat, didengar, atau apa yang dicurigai tentang dirinya. Peraturan ini berlaku seumur hidup.

5. Seorang bhikkhunã yang melakukan pelanggaran Sanghadisesa harus menjalani penebusan selama setengah bulan, pakkha manatta, di dua Sàsana, Bhikkhu Sàsana dan Bhikkhuni Sàsana.

6. Seorang bhikkhuni harus mempersiapkan penahbisan di kedua tempat Bhikkhu Sàsana dan Bhikkhuni Sàsana bagi seorang sàmaneri yang telah menjalani masa percobaan menjalani enam Sila latihan selama dua tahun. Peraturan ini berlaku seumur hidup.

7. Seorang bhikkhuni tidak boleh memarahi seorang bhikkhu untuk alasan apa pun. Peraturan ini berlaku seumur hidup.

8. Seorang bhikkhuni dilarang memberikan nasihat atau teguran kepada bhikkhu berlaku sejak hari ini. Para bhikkhu sebaliknya boleh menasihati bhikkhuni kapan saja jika diperlukan. Peraturan ini juga berlaku seumur hidup.

“Inilah Delapan Sila khusus. Jika Mahàpajàpati Gotami menerima Delapan Sila khusus ini, maka penerimaannya berlaku sebagai penahbisan baginya.”

Jika dipahami secara mendalam, isi dari 8 Garudhamma sudah mendapat pengaruh budaya Patriarki. Hal ini ditunjukkan dengan poin 7 dan 8 delapan yang menunjukkan superioritas laki-laki terhadap perempuan. Dikatakan bahwa bhikkhuni tidak diperkenankan untuk menasehati bahkan memarahi seorang bhikkhu. Hal ini menunjukkan adanya diskriminasi terhadap perempuan. Di sisi lain, ditemukan pula bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan seperti, Buddha harus seorang laki-laki, syarat menjadi Buddha harus laki-laki, penyempurnaan Dasa Parami selalu berjenis kelamin laki-laki. Meskipun terlahir sebagai hewan.

Diterimanya agama dalam suatu wilayah diharuskan agama tersebut untuk mau beradaptasi dengan budaya yang ada, termasuk budaya patriarki. Semua agama di dunia tentu saja sudah terpapar oleh budaya patriarki ini, termasuk agama Buddha. Agama Buddha yang begitu fleksibel, sangat memungkinkan terjadinya akulturasi terhadap budaya yang ada.

 

Dikutip dari : https://buddhazine.com/kesetaraan-gender-dalam-agama-buddha/