Penyambutan Tahun Baru Menurut Hindu

24 Dec, 2018 | Kategori : Agama

Apa makna dari judul tersebut,  mengingat selama ini kita umat Hindu seingat saya belum pernah melaksanakan kegiatan yadnya/sembahyang bersama menyambut tahun baru seperti kita umat Hindu menyambut tahun baru Saka dengan melaksanakan berbagai kegiatan yadnya dan sembahyang bersama. Hanya saja kali ini, kebetulan bertepatan dengan Purnama Kepitu, jadi ya kita bersembahyang bersama.

Pertanyaannya: apakah ada ketentuan yang mewajibkan kita melaksanakan yadnya yang dilanjutkan dengan sembahyang bersama atau sebaliknya dalam menyambut ahun baru Masehi. Nah, sebelum kita dapat menjawab atas pertanyaan tersebut marilah kita kembali tentang makna yadnya dan sembahyang yang biasa kita lakukan. Yadnya adalah korban suci yang dilaksanakan secara tulus ikhlas, tanpa pamrih. Semestinya manusia bertindak melakukan yadnya, Tuhan saja melakukan yadnya yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Segala potensi yang ada pada diri manusia bisa dikorbankan untuk kebaikan. Dan itulah yadnya dalam arti seluas-luasnya, yang bukan hanya bermakna sebagai upakara saja.

Semua orang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan untuk setidak-tidaknya untuk memohon perlindungan. Perasaan diri dekat dengan Tuhan dapat menyebabkan seseorang merasa tenang, damai, karena ia yakin bahwa Tuhan akan melindungi dirinya dari mala petaka. Di samping itu, akan memberikan pengaruh kesucian pada dirinya, karena Tuhan bersifat Maha Suci, terlebih-lebih saat ini kita berada pada zaman kali yuga. Zaman yang penuh dengan berbagai hambatan dalam menjalankan dharma.

Berkaitan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, Bhagawadgita IX.34 mengajarkan kita untuk senantiasa memusatkan pikiran kepada-Nya. Selengkapnya sloka IX.34 itu berbunyi:

man-man? bhava mad-bhakto mad-y?j? m?m? namaskuru m?m evais?yasi yuktvaivam ?tm?nam? mat-par?yan?ah? yang artinya: “Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbaktilah kepada-Ku, bersujudlah kepada-Ku, sembahlah Aku, dan setelah kau mengendalikan dirimu dengan menjadikan Aku sebagai tujuanmu tertinggi, engkau akan tiba pada-Ku.”

Sloka di atas sangat jelas menganjurkan kepada kita untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan salah satu cara yaitu dengan sembahyang, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama. Sembahyang secara sendiri-sendiri disebut ekanta, sembahyang secara bersama-sama disebut sam kirthanam.

Makna Sembahyang Bersama

Sembahyang bersama sesungguhnya merupakan proses pendidikan yang bernilai sosiologis dan psikologis untuk mendidik seseorang agar bisa hidup bersama secara dinamis di tengah-tengah masyarakat yang heterogen. Dalam sembahyang bersama semestinya setiap orang berusaha untuk mengembangkan aspek-aspek positif dalam dirinya dan membiasakan diri untuk menekan atau mengurangi atau bahkan menghilangkan aspek atau kebiasaan negatif, seperti merokok, berisik atau bersuara keras, dll.

Untitled-1

Dalam sembahyang bersama sembahyang bersama seseorang dapat melatih diri dan membiasakan sikap yang tepat dan benar. Suasana dalam sembahyang bersama merupakan suasana yang bisa mendorong tumbuhnya nilai-nilai kerohanian untuk menghidupkan api spiritual yang sangat dibutuhkan dalam menuntun kehidupan yang suci. Sikap dan sifat yang bisa ditumbuhkan adalah saling tolong, kasih saying, ikut merasakan penderiatan orang lain, ikut berbahagia atas keberuntungan orang lain, loyal dalam pergaulan, rela berkorban demi mewujudkan sesuatu yang lebih bernilai dan mulia. Yang penting dalam sembahyang bersama adalah hindari sifat-sifat arogan, egois, iri, dengki, sifat-sifat ekslusif, yang bisa meneyebabkan susahnya kebersamaan. Demikian pentingnya sembahyang bersama.

Umat se-Dharma, selanjutnya mari kita menelaah apakah kita wajib beryadnya yang diikuti persembahyangan bersama dalam penyambutan tahun baru masehi?

Hasil Pesamuhan Agung PHDI menyatakan bahwa pelaksanaan yadnya hendaknya didasarkan pada Dharma. Dasar pelaksanaan Dharma bagi umat Hindu adalah Weda. Weda menentukan nilai-nilai pokoknya, yang kemudian oleh para Maharsi yang amat bijak menentukan garis-garis pelaksanaannya. Pelaksanaannya inilah disesuaikan dengan tempat beradanya umat Hindu yang didasarkan atas Catur Dresta. Catur Dresta terdiri atas: 1. Sastra dresta: kebenaran berdasarkan sastra agama; 2. Purwa dresta: kebenaran berdasarkan masa lalu; 3. Loka dresta: kebenaran berdasarkan kesepakatan yang diawali dengan musyawarah; 4. Desa dresta: kebenaran berdasarkan tempat pelaksanaan atau berlangsungnya yadnya.

Dalam Manawa Dharma Sastra juga dikatakan bahwa ada 5 sumber hukum Dharma, yaitu Sruti, Smrti, Sila, Sadacara atau Acara, dan Atmanastuti. 1. Sruti: kata sruti berarti wahyu atau sabda suci Hyang Widhi Wasa, yang terhimpun dalam Catur Weda dan Pancamo Weda (Bhagawadgita). 2. Smrti: juga merupakan sumber hukum Hindu yang ditulis berdasarkan pemikiran bijak dan interpretasi para maharsi, seperti Dharmasastra, Purana, Itihasa 3. Sila: adalah tingkah laku orang-orang suci yang senantiasa mendasarkan diri pada ajaran Weda yang tentunya dapat dijadikan contoh; 4. Sadacaraatau acara: adat dan kebiasaan setempat yang diterima dan dijadikan sebagai bagian dari kepercayaan oleh masyarakat setempat. Agama Hindu memberikan pengakuan tegas atas acara ini, sehingga adat diakui sebagai sumber Dharma. 5. Atmanastusti: sesuatu yang membuat orang berbahagia. Karena hal ini sifatnya sangat relatif, ukurannya biasanya adalah apa yang disepakati secara musyawarah. Hal ini timbul apabila ada sesuatu yang belum secara tegas dan tersurat diatur, maka atmanastusti dapat dijadikan ukuran. Ajaran ini juga memberi dasar hukum bagi PHDI dalam merumuskan berbagai kebijakan yang menyangkut kehidupan beragama Hindu.

Umat se-Dharma yang berbahagia…

Alam semesta menurut agama Hindu disebut makokosmos dan berasal dari Hyang Widhi. Menurut Veda, alam semesta merupakan maya, sakti atau bentuk kasar (sekala) dari Tuhan Yang Maha Kuasa (niskala). Konsep sekala-niskala sama pengertiannya dengan material-spiritual.

Karena alam semesta beserta isinya dipandang berasal dari Tuhan, maka manusia dan alam semesta adalah sesuatu yang sama. Dalam hal ini manusia disebut juga mikrokosmos. Apa yang ada pada makrokosmos ada juga pada mikrokosmos, demikian pula sealiknya. Dikatakan juga bahwa manusia adalah miniature alam semesta yang paling sempurna dan sebagai manajer jagat raya. Hal ini tercantum dalam Veda, dengan ungkapan sarva butha kutumbhakan, semua mahluk adalah bersaudara. Inilah paham Hinduisme yang mengandung paham keluarga semesta.

Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudara umat se-Dharma,

Dari semua uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sampai saat ini belum ditemukan secara tertulis tentang aturan pelaksanaan yadnya berkaitan dengan tahun baru masehi. Namun demikian, dari segi urutan Dharma di atas, dapat dikaitkan dengan sadacara/acara dan atmanastusti, hal ini dapat saja dilaksanakan sesuai keadaan umat setempat. Ditinjau dari kosmologi Hindu, walaupun belum ditemukan keharusan melaksanakan yadnya dalam menyongsong tahun baru masehi, sepertinya tidak ada salahnya dilaksanakan sesuai dengan keadaan setempat, misalnya dengan sembahyang. Toh menurut Hindu, umat diharapkan bersembahyang dalam setiap pergantian waktu/kala.

Persembahyangan yang dilakukan sebanyak 3 kali sehari juga didasarkan atas pergantian kala. Malam menjelang pagi dilaksanakan sembahyang (pratah sewanam), pagi menjelang tengah hari dilaksanakan sembahyang (madyandina sewanam), dan sore menjelang malam juga dilaksanakan sembahyang (sandya sewanam). Jumlahnya tiga kali sehari, sehingga disebut tri sandya.

 

Dikutip dari : https://bphsulsel.wordpress.com/2010/01/05/penyambutan-tahun-baru-menurut-hindu/