Persepsi masyarakat tentang wanita juga sangat dipangaruhi oleh sumber-sumber bacaan yang umum dijadikan teladan oleh masyarakat Hindu. Demikianlah ajaran yang terkandung dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu sangat menentukan sikap atau persepsi masyarakat tentang perempuan. Di dalam Manavadharma??stra (IX.33) dinyatakan bahwa perempuan menurut Sm?ti adalah sebagai tanah, laki-laki dinyatakan sebagai benih, hasil terjadinya jasad badaniah yang hidup terjadi karena melalui hubungan antara tanah dan benih. Terhadap mitos penciptaan tersebut di atas menimbulkan dua penafsiran yang berbeda. Menurut Ranjana Kumari, potensi wanita (disimbolkan dengan tanah) dipandang kreatif dan penuh kebaikan, hanya apabila potensi itu terjalin secara harmonis dengan pria, jika wanita terpisah dengan pria maka akan menimbulkan bahaya dan kedengkian. Di dalam mitologi Hindu, dewi Kali berperan sebagai ibu, tidak berada di bawah pengawasan pria, maka dewi Kali merupakan simbol daya tarik yang menimbulkan kekacauan dan bahaya.
Dalam ceritera mitos tersebut dijelaskan bahwa dewi Kali melakukan tarian kemenangannya sesudah membunuh iblis yang besar. Dalam amukannya itu, ia membunuh dan merusak tanpa kontrol, bahkan para dewata tidak dapat menghentikannya. Ketika dewa ?iva, yang tidak lain adalah suaminya diutus untuk meredakannya, maka ia tertelungkup di bawah kakinya, sehingga dunia menjadi aman. Dalam mitos ini tampak Kali merupakan kekuatan destruktif apabila tidak dikendalikan, tetapi berkat kontrol suaminya, yaitu ?iva, maka ia bisa ditundukkannya, oleh karena itu sifat kedewataan wanita dalam agama Hindu hanya dapat diperoleh bagi mereka yang sudah kawin. Kawin adalah fase transformasi dari bentuk yang berbahaya menuju istri yang dicintai sebagai kekayaan dan kebahagiaan. Bagi mereka yang tidak kawin, mereka harus di bawah pengawasan kaum pria (Juwariah Dahlan, 1992: 73). Tentang pengawasan atau bimbingan oleh kaum pria ini dinyatakan pula dalam Manavadharma?astra (V.148-149,IX.9-12). Demikian juga di dalam Bhagavadg?t? dinyatakan bahwa anak-anak maupun wanita memerlukan perlindungan anggota keluarganya yang lebih tua. Dengan demikian menurut Ranjana Kumari seperti dikutip oleh Juwariah Dahlan di atas, ketergantungan wanita atas pria adalah mutlak. Berbeda dengan penafsiran Ranjana Kumari, K.V.K.. Thampuran memberi penafsiran yang menstarakan potensi pria dan wanita. Ia juga berangkat dari kitab Manavadharma??stra (I.32) yang menyatakan bahwa Brahman membagi dirinya atas dua bagian, yaitu pria dan wanita. Berdasarkan pada kitab tersebut, Thampuran melihat kesamaan pria dan wanita dari segi hakekat potensinya, wanita menurutnya tidak dapat dikatakan inferior dan superior. Wanita merupakan pasangan pria ideal. Lebih lanjut ia menyatakan: Semua ajaran Tantra mengagungkan wanita sebagai yang tertinggi. Sesungguhnya telah dinyatakan bahwa Tuhan Sang Hyang ?iva menjadi kuat hanya dengan bekerja sama dengan dewi ?akti……..berarti pria tidak lengkap potensinya sebelum bekerja sama dengan wanita.
Menurut Juwariah Dahlan, kedua penafsiran tersebut, sama-sama memandang wanita sebagai pasangan ideal pria, akan tetapi Ranjana Kumari mengutip beberapa beberapa syair kitab Manavadharma??stra yang pada akhirnya berkesimpulan bahwa wanita tanpa dilindungi pria akan jatuh ke dalam kesesatan, sedangkan K.V.K. Thampuran semata-mata melihat keharmonisan pria dan wanita bila terjalin interaksi dan kerja sama yang baik, tanpa melihat lebih jauh titik kelemahan wanita apabila menyendiri, oleh karena itu Thampuran memandang wanita menurut tingkatannya sama. Guru Yajñvalkya ?oma, dan Agni memandang wanita selalu dalam pandangan murni, dan Ganha selalu mengucapkan kata-kata yang manis kepada wanita. Sifat buruk yang biasa disifatkan pada wanita, seperti dengki, murka dan sifat buruk lainnya bukan merupakan sifat dasar wainita (Juwariah Dahlan, Ibid,74).
Tafsiran K.V.K. Thampuran lebih menyesuaikan peranan wanita dengan perkembangan jaman modern. Menurutnya, Hinduisme bukan merupakan sebuah pemikiran filosofi dan sistem praktek keagamaan yang statis. Pemikiran dan praktek keagamaan Hindu yang berubah dan memodifikasi dirinya dalam periode sejarahnya sejak 5.000 tahun yang lalu. Selama periode itu, beberapa jaman terdapat masa di mana vitalitas Hindu pernah surut, namun dalam saat-saat yang sama agama Hindu tidak ketinggalan menarik kembali totalitasnya agar berperan penting dalam kehidupan orang-orang Hindu. Di samping itu meskipun agama Hindu mempunyai peranan yang kuat atas kehidupan umatnya, akan tetapi peranan tersebut bukan dalam bentuk latihan-latihan yang memiliki otoritas formal melalui lembaga-lembaga sosial, politik, dan ekonomi. Hal ini disebabkan karena agama Hindu tidak mempunyai struktur hukum dan tidak mempunyai kaitan dengan hal-hal yang berkenaan dengan negara. Otoritas agama secara umum ada dua, (1). kekuatan pengaruh pikiran-pikiran yang ada di dalamnya, (2).kekuatan dan pengaruh institusinya. Lebih, Juwariah Dahlan menyatakan, pandangan K.V.K. Thampuran antara lain menekankan pikiran-pikiran sebagai interpretasi kitab suci di samping institusi-institusi yang muncul dalam masyarakat Hindu, menyebabkan agama Hindu berusaha menyesuaikan diri dengan suasana jaman khususnya tentang urusan wanita (Ibid: 75).
Lebih jauh tentang potensi dan status wanita, Nyonya Gedong Bagoes Oka dalam makalahnya Wanita Dalam Perspektif Agama Hindu dan pembangunan manerim sebuah kesimpulan yang menyatakan: “Kalau ada potensi intelek yang begitu jernih dan tajam pada seorang atau beberapa wanita seperti tersebut tadi, maka potensi itu terdapat pada semua wanita, hanya manifestasinya berbeda derajatnya, yang disebabkan lagi oleh “conditioning”, kesempatan dan tekad atau kemauan” (1992: 62)
Dari pandangan tersebut di atas, bila kita mengkaji bahwa peserepsi masyarakat Hindu tentang perempuan adalah sama-sama mulia, sama-sama memiliki potensi dan fungsi sesuai dengan kodrat dan tanggung jawabnya masing-masing, artinya seorang perempuan bila mampu mengembangkan potensinya dengan baik, mampu melaksanakan swadharmanya dengan baik maka wanita benar-benar mendapatkan penghargaan yang sangat mulia, termasuk dalam kepemimpinan di masa yang lalu seperti yang dapat kita saksikan dalam perkembangan sejarah Indonesia di masa yang silam, antara lain kepemimpinan ratu Si?h? di Jawa Tengah, Ratu Tribhuvanatuògadev? , kepemimpinan Dewa Ayu Muter di Smarapura, Jero Jempiring (istri dari Patih Jelantik) di Buleleng dan Sagung Wah di Tabanan, termasuk juga dalam kancah perjuangan kemerdekaan, tidak sedikit perempuan Hindu berjuang bahu-membahu bersama-sama pejuang laki-laki.
Dikutip dari : https://dharmavada.wordpress.com/2009/11/25/perempuan-dalam-hindu/