Untuk Nyonya RM Abendanon – Mandiri
27 Oktober 1902
Kami sedang mencatat semua yang kami dengar, hal-hal yang indah dari mulut rakyat. Kata “sejak” tidak ada dalam bahasa kami, kami menyebutnya “bahasa Bunga”, tidakkah tepat disebut demikian ?
Sekarang kami juga sedang mempelajari nyanyian, bukan nyayian berriang- riang hati. Pernahkah kamu dengar bangsa kami bernyanyi riang gembira ? Gamelan tidak pernah riang gembira. Bahkan Pada pesta yang seriang-riangnya, masih terdengan sayu dalam nyanyian itu, boleh jadi karena riangnya pesta itu jualah rasa sayu hidup itu bukan sebuah nyanyian keriangan hati.
Halaman-halaman sebelumnya saya tulis sambil mendengarkan nyanyian sendu. Malam hari jendela dan pintu terbuka, bunga cempaka yang sedang berkembang di muka kamar terbuka, bunga cempaka yang sedang berkembang di muka kamar kami mengirim nafasnya yang harum sebagai salam kepada kami bersama angin sepoi-sepoi yang mendesau-desau melintasi daun. Saya duduk di lantai, sepeti sekang, pada meja rendah. Di sebelah kiri saya, adik Roekmini sedang menulis. Sebelah Kanan saya adalah Annie Glaser menjahit. Di hadapan kami, seorang perempuan yang membaca buku untuk kami dengan melagukannya. Bukan main nikmatnya. Mimpi tentang keindahan di wujudkan dalam suara lagu suci. Damai dan membawa jiwa kami melambung ke taman surga.
“Habis malam datanglah cahaya,
Habis topan datanglah reda,
Habis juang datanglah mulia,
Habis duka datanglah suka’’.