“Mendorong pengembangan agama sendiri, mengagung-agungkan kebaikannya, tetapi mencela agama lain untuk kepentingan sendiri akan merugikan agama itu sendiri” – Asoka’s Major Rock Edicts VII [1]
Indonesia adalah negara dengan komponen masyarakat yang memiliki tingkat diversitas yang sangat tinggi. Berbagai macam suku, ras, budaya, agama, dan warna kulit menyelimuti permukaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Keanekaragaman inilah yang menjadi ciri khas dari negara kita, sesuai dengan slogan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Untuk menjaga kebhinnekaan ini, tentu bukanlah hal yang mudah. Konflik-konflik masyarakat sebelumnya yang menyangkut isu SARA menjadi evaluasi bagi kita semua untuk memperbaiki diri dalam berinteraksi dengan masyarakat yang beragam ini. Terjadinya konflik SARA tidak terlepas dari kurangnya pemahaman kita tentang toleransi.
Menurut KBBI, toleransi adalah sikap menghargai atau membiarkan pendirian/pendapat/kepercayaan yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dari definisi tersebut, jika dikerucutkan ke ranah SARA, maka toleransi bisa disebut sebagai sikap menghargai kepercayaan/agama yang berbeda dengan kepercayaan/agama sendiri.
Dalam Buddhisme, toleransi sangat jelas diajarkan. Selama 45 tahun berkhotbah, Sang Buddha telah mengajarkan tentang toleransi dalam beragama meskipun tidak secara spesifik. Toleransi yang diajarkan Sang Buddha tidak terlalu kompleks dan mudah dipahami. Salah satunya adalah empat sifat luhur (Brahma Vihara) yang terdiri dari Metta (cinta kasih), Karuna (welas asih), Mudita (simpati), dan Uppekha(keseimbangan batin). Keempat sifat luhur itulah yang menjadi dasar dari toleransi dalam Buddhisme[2].
Dengan memahami Brahma Vihara, dalam diri kita akan tumbuh rasa toleransi. Kita dapat membiarkan umat agama lain untuk menjalankan kepercayaan mereka dan melakukan ibadah mereka. Sekalipun kita tidak setuju atau bertentangan dengan apa yang mereka lakukan. Rasa “tidak setuju” yang muncul dalam diri kita ini bisa dikikis dengan mengamalkan keempat sifat luhur tersebut. Cinta kasih, welas asih, simpati, dan keseimbangan batin inilah yang akan membawa pada terciptanya kedamaian.
Frasa “Semoga semua makhluk hidup berbahagia” yang merupakan doa penutup khas umat Buddha juga mencerminkan toleransi. Memperbolehkan umat agama lain melaksanakan ajaran dan ibadahnya sama dengan membuat mereka bahagia karena bisa melaksanakan ibadahnya tanpa gangguan apapun.
Begitu pula dengan Raja Asoka, seorang penguasa kekaisaran Gupta dari 273 SM sampai 232 SM dalam sejarah Buddhisme, sangat menekankan pentingnya toleransi dalam beragama. Di saat terdapat ajaran agama yang lain, Raja Asoka sebagai penganut agama Buddha tetap menjunjung tinggi kerukunan dengan umat agama lain.
“Janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama lain. Sebaliknya agama lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu.” – Asoka’s Rock Edict XII [3]
Pemahaman tentang toleransi sangatlah penting. Pendidikan memiliki peran besar terhadap hal ini. Terutama bagi generasi muda, pendidikan karakter dan kerukunan antar umat beragama harus diajarkan sedini mungkin. Sejatinya, toleransi adalah akar dari perdamaian. Bertoleransi dapat membawa karma baik bagi kita.
“…bila kalian sendiri mengetahui: ‘Hal-hal ini buruk; hal-hal ini salah; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; bila dilakukan dan dijalankan, hal-hal ini akan menuju pada keburukan dan kerugian,’ tinggalkanlah hal-hal itu.” – Buddha [4]
Dikutip dari : https://majalah-hikmahbudhi.com/toleransi-dalam-buddhisme/