Tri Hita Karana : The Balanced Life Of Hinduism

21 Dec, 2020 | Kategori : Agama
tri hita karana

Tanpa disadari bumi kita terus-menerus berputar dengan tidak bergeser sedikit pun kecepatannya, membuat hari-hari terus berlalu membawa umat manusia menuju peradaban dunia ke ujung senja. Bumi ini seakan-akan sudah lelah mengiringi langkah-langkah perjalanan peradaban dunia akibat peristiwa-peristiwa yang telah banyak memeras keringat, darah, dan tetesan air mata sang ibu pertiwi. Berdasarkan puisi di atas dapat disimak bahwa bunga yang diibaratkan sebagai manusia tersebut telah berperilaku tidak adil dan tidak seimbang, cenderung melupakan segalanya ketika mencapai kesuksesan. Dan manusia baru tersadar ketika kondisinya sedang terpuruk. Perilaku manusia yang cenderung melupakan Sang Pencipta, melupakan sesama, juga melupakan lingkungan tidak sejalan dengan filosofi hukum Hindu yang menghendaki adanya keadilan dan keseimbangan dalam hidup manusia.

Perilaku manusia yang dikatakan tidak adil dan tidak seimbang dalam menjalani kehidupan mereka di muka bumi ini dapat dilihat dari tujuan hidupnya. Jika ditelusuri secara lebih mendalam, tujuan hidup manusia dari jaman dahulu hingga sekarang memang sangat ironis, karena lebih banyak berkutat di seputar materi dan kesejahteraan fisik belaka. Tujuan hidup manusia yang berkiblat pada kemilau harta duniawi akan menghantarkan manusia pada jebakan labirin kerakusan dan keserakahan dan cenderung berperilaku tidak adil terhadap sesama.

tri hita karana 2

Jika ditinjau dari segi Hukum Hindu  ketiadakadilan yang dilakukan oleh manusia terhadap sesama cenderung  akan menimbulkan berbagai persoalan yang serius yang mengarah pada krisis multidimensi. Berangkat dari berbagai persoalan tersebut penulis melihat bahwa solusinya adalah kembali kepada manusia itu sendiri dalam menjalani dan memaknai kehidupan. Salah satu ajaran Hindu yang dipercaya dapat menjaga keseimbangan dan mewujukan keadilan yang merupakan inti dari filosofi hukum hindu adalah konsep Tri Hita Karana. Konsep Tri Hita Karana yang menjadi filosofi keseimbangan hidup masyarakat Hindu di Pulau Bali, meliputi hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), antar manusia dengan sesama (Pawongan), dan antara manusia dengan lingkungan (Palemahan).

Konsep Parahyangan yang menggambarkan hubungan manusia dengan Sang Pencipta (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), berpandangan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan, dimana Atman yang berada dalam tubuh manusia adalah percikan sinar suci Tuhan sehingga manusia dapat hidup. Oleh sebab itu, manusia hendaknya berterima kasih kepada Tuhan yang diwujudkan antara lain melalui beribadah dan melaksanakan perintah-Nya, melaksanakan Dharma Yatra atau Tirtha Yatra ke tempat-tempat suci, serta melaksanakan yoga semadhi.

Konsep Pawongan yang menggambarkan hubungan manusia dengan sesama manusia, berpandangan bahwa manusia selain berperan sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk social sehingga manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia sangatlah membutuhkan bantuan dan kerjasama dengan sesamanya sehingga harus diciptakan hubungan yang harmonis. Hubungan antar manusia diatur atas dasar saling asah, saling asih, dan saling asuh, artinya saling menghargai, saling mengasihi dan saling membimbing. Hubungan yang harmonsi antar sesama akan menciptakan keamanan dan kedamaian lahir dan bathin di masyarakat.

Konsep Palemahan yang menggambarkan hubungan manusia dengan lingkungan berpandangan bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sangatlah bergantung pada lingkungan. Oleh sebab itu manusia harus selalu memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang harus dijaga dan dipelihara kelestariannya agar tidak rusak. Hutan tidak boleh ditebang sembarangan, binatang-binatang tidak boleh diburu secara liar, karena akan mengganggu keseimbangan alam. Jika lingkungan telah terjaga kebersihan, keindahan, dan kelestariannya maka akan menciptakan rasa tenang dan tentram bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.

Filosofi Tri Hita Karana ini dituangkan dalam dalam kitab Bagawad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut:

Sahayajnah prajah sristwa pura waca prajapatih anena prasawisya dhiwan esa wo’stiwistah kamadhuk.

Artinya:

 Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.

 Isi dari kutipan di atas sebenarnya menghantarkan kita untuk merenungkan kembali tentang makna kehidupan. Jika kita merenungkan kembali hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan, manusia hendaknya mensyukuri segala karunia yang telah dilimpahkan oleh Sang Pencipta, karena di antara semua makhluk yang hidup di muka bumi ini, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia sebagai makhluk Tuhan diciptakan hidup berdampingan dengan sesama manusia lainnya, serta makhluk hidup lainnya yaitu hewan dan tumbuhan. Manusia dikatakan sebagai makhluk yang paling sempurna, dibandingkan dengan hewan maupun tumbuhan, karena manusia memiliki akal, pikiran, serta hati nurani. Dengan adanya akal pikiran tersebut, manusia dikatakan bisa menjadi Kamadhuk yaitu dapat mewujudkan keinginan dan tujuan dalam hidupnya. Dengan demikian diharapkan manusia dapat berperilaku adil terhadap sesame.

tri hita karana 3

Manusia dalam mewujudkan tujuan hidupnya telah melewatkan banyak hal begitu saja dalam hidup ini, tanpa berhasil dimaknai. Pengalaman diri sendiri maupun orang lain serta fenomena alam yang bertaburan memang sudah selayaknya dipetik menjadi hikmah. Kalau saja kita berkenan merenung sejenak, maka akan kita temukan betapa besarnya kuasa Tuhan yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya dengan tidak sia-sia. Namun, sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi akal dan pikiran, manusia seringkali menyia-nyiakan kesempatan untuk memetik hikmah yang tersembunyi di balik semak belukar kehidupan. Padahal dengan segala kelebihannya, manusia sebenarnya mampu berbuat banyak untuk menjaga keseimbangan hidup dan memelihara alam semesta, serta mengayomi makhluk ciptaan Tuhan yang lain.

Sejalan dengan prinsip Keadilan dan Keseimbangan dalam Hukum Hindu, melalui implementasi Tri Hita Karana diharapkan umat manusia dapat berperilaku adil terhadap Sang Pencipta, terhadap sesama dan terhadap lingkungan. Hal ini sejalan dengan isi kitab Manawa Dharma Sastra IV. 138 (Kitab Hukum Hindu) yang menjelaskan bahwa:

Satyam bruyat priyam,  priyam ca nanrtam bruyadesa dharma sanatanaa.

 Artinya:

 Hendaknya ia mengatakan apa yang benar, hendaknya ia mengucapkan apa yang menyenangkan hati, hendaknya ia jangan mengucapkan kebenaran yang tidak menyenangkan, dan jangan pula ia mengucapkan kebohongan yang menyenangkan, inilah hukum hidup duniawi yang abadi.

Sebenarnya, kehidupan adalah misteri yang merupakan rahasia Tuhan. Manusia tidak akan pernah tahu berapa lama mereka akan hidup di muka bumi ini. Pada dasarnya, manusia memang telah digariskan memiliki dua peran mendasar, yaitu sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia cenderung memiliki sifat egois yang lebih mengutamakan kepentingan sendiri dan seringkali mengorbankan kepentingan bersama. Sementara itu, sebagai makhluk sosial, manusia cenderung memiliki sifat alturistik yang lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan sendiri. Jika manusia benar-benar menyadari akan makna kehidupan, maka manusia tidak akan pernah melupakan hakikat dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki hati nurani. Melalui filosofi Tri Hita Karana diharapkan agar manusia dapat berperilaku adil dan seimbang terhadap Sang Pencipta, terhadap sesama dan terhadap lingkungan sehingga keseimbangan keharmonisan, dan kebahagiaan hidup lahir bathin dapat tercapai.

 

Ditulis Oleh :

Ny. OMIKA AGUNG PANJI, PENGURUS DAERAH BHAYANGKARI BALI